Dia sangat berharga, memang berharga.
Tapi aku tidak tahu seberapa berharganya dia didalam hatiku? Sampai-sampai,
siapapun yang datang mengetuk pintu hatiku tak ku gubris sama sekali.
Dari
arah barat angin berhembus dengan sangat cepat, dan mulai menerbangkan beberapa
helai rambutku yang terurai. Beberapa lama, ingatanku yang sekarang mulai
memudar tergantikan oleh kenangan yang berangsur pelan memenuhi sebagian alam
pikiranku.
Hingga
aku merasa bahwa diriku sedang menikmati pohon akasia yang menggugurkan daun
tepatnya pada bulan maret. Aku berada disebuah koridor kelas, yang dipenuhi
oleh lalu-lalang siswa yang lewat. Beberapa dari mereka selalu tersenyum dengan
sapaan ramah yang mereka tampilkan dengan deretan gigi-giginya.
Suatu
hari, aku dan beberapa temanku mengambil tempat duduk di koridor depan ruang
guru. Kami tertawa bersama dan menikmati beberapa kalimat candaan dari salah
satu temanku. Dan disanalah dia… duduk bersender pada pilar kuning keemasan
itu. Dia memperhatikan awan cerah
dilangit biru yang dilintasi oleh beberapa burung kutilang yang
berterbangan di udara.
“Kamu
mau kemana nanti setelah lulus?” ujar Nella pada Robin ketika hendak turun
kebawah becekan air. Tanah yang masih basah akibat embun pagi tadi. Hari ini,
guru fisika tidak ada dan kami bebas. Bermain, meskipun dilihat oleh guru-guru
yang lainnya. Memang, ada beberapa guru yang sering menegur tapi kebetulan
setelah ini ada rapat.. jadi lebih baik kami dibiarkan bermain untuk
merefreshing kan otak. Mungkin pemikiran para guru, sebaiknya siswanya
dibiarkan santai saja dulu sebelum para siswanya menghadapi ujian yang tinggal
menghitung minggu.
Seperti
hidup dan mati, antara lulus atau tidak membuat hati setiap siswa angkatan
terakhir pasti deg-deg’an. Detak jantung yang melaju sangat cepat, seharusnya
seperti itu. Tapi aku dan angkatan ku merasa berbeda, santai dan tenang. Merasa
seolah tidak ada apa-apa, belajar ataupun tidak-sama saja. Yang jelas saat itu,
aku merasa kami tidak berfikir tentang ujian akhir. Yang lain sudah
merencanakan akan kemana setelah lulus, dan kurasa akupun begitu.
“Mungkin
aku akan bekerja” ujar Robin, “Cari biaya dulu” lanjutnya.
“Kerja
apa?” sela Dina, seperti ingin tahu.
“Apa
aja deh” lanjutnya, “Mungkin kerja di konter paman ku atau jualan pisang sale”
katanya terkikik dan diikuti tawa renyah kami.
Aku
memandang langit yang begitu cerah dibulan maret, dua burung kutilang saling
kejar-kejaran diudara, kemudian diikuti oleh pasukan burung kutilang lainnya.
Pada
menit berikutnya, aku mencuri pandang kearahnya. Dia sangat santai dan diam.
Seperti tidak ada masalah, selalu saja seperti itu. Raut wajah yang kukatakan
suram namun terlihat bening dipandang dan sangat nyaman untuk diperhatikan.
Tapi sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, entah apa yang sedang terbersit
didalam fikirannya.
“Sekolah
kita pasti berbeda nanti usai kelulusan” dia berujar dengan sangat tenang dan
hati-hati. Aku mendengarnya, inginnya menggubris. Tapi tidak bisa, selalu saja
seperti itu. Aku membeku ketika berada disekitarnya. Aku terdiam dan meleleh
ketika melihat matanya dan aku hanyut oleh buaian dari raut wajahnya. Lalu
sekarang bagaimana?
“Tentu
saja” ujar Lian yang berada disampingku.
“Kita
pasti akan jarang bertemu” sela ku. Aku ragu dia mendengar. Teman-temanku yang
lain sibuk membicarakan urusan mereka. Tertawa dan saling ledek. Akan ada kerinduan.
Kerinduan
yang mungkin tidak terbantahkan oleh ratu hati dan tidak tertolak oleh raja
kenangan. Benar saja, aku akan merindukan mereka, teman-temanku dan juga-- dia.
Sayang,
sungguh sangat disayangkan. Walau begitu, aku masih saja berharap padanya.
Meskipun aku sudah tahu bahwa pintu hatinya tidak akan terbuka lagi untuk yang
lain, dia sudah memiliki kekasih begitulah yang aku dengar dari temanku.
Kemudian aku hanya bisa meringis menahan sakit. Sampai aku ingin menangis,
iya…menangisinya. Menangisi dia yang tidak pernah melihat maupun
memperdulikanku barang sedetik saja.
Tapi
kufikir tidak, ada beberapa hal yang mungkin saja membuatku merasa nyaman dan
tenang ketika bersamanya. Ketika dia membantuku untuk hal-hal yang kecil,
meskipun tidak terlalu istimewa. Dan ketika kami membicarakan kesukaan kami.
Itu adalah ingatan yang masih tertorehkan meskipun hanya sedikit didalam memori
otakku.
Bel
berbunyi, waktunya pulang. Dia bergegas menuju parkiran, aku masih memandang
dari kejauhan hingga punggungnya semakin menjauh dan tidak terlihat.
Ingatan
ketika itu, entah mengapa membuatku teramat bahagia. Meskipun hanya beberapa
menit bersama, dan meskipun hanya beberapa detik berlalu. Ketika melihatnya
saja, hatiku merasa tenang.
Setiap
langkahnya, ketidak-perduliannya dan kesombongan yang kadang-kadang melintas
didalam benak orang yang melihatnya. Keacuhannya, tatapan matanya yang selalu
saja lurus, membuatku menorehkan keperdulian kepadanya.
Nakal,
dan entah mengapa itu membuatku menaruh sikap perduli-erm mungkin tepatnya
kasihan. Iya, aku kasihan melihatnya… hingga akhirnya rasa kasihan itu berubah
menjadi perhatian dan perhatian itu berubah jadi rasa- rasa suka dan bersemi
dalam hati menjadi sebuah kepingan- CINTA.
Anginnya
berhembus keras, dan aku kembali pada kesadaranku. Entah mengapa aku tersenyum ‘itu hanyalah masa lalu’ suatu saat yang
menentukan adalah waktu. Tidak masalah jika aku tidak bersamanya. Melihat
dirinya bahagia membuat ku juga bahagia. Dia akan selalu baik-baik saja. Hidup
ini memang sulit untuk ditebak. Seseorang melambai kearahku, dan aku tersenyum
membalas lambaiannya. Aku melangkahkan kaki dan meninggalkan tempat itu dan
hendak menuju kearahnya yang melambai. Hidup baru dengan nuansa baru itu sudah
dimulai. Memang, masih banyak yang ingin kuceritakan dan kurangkum…
menceritakan sosok yang pernah hadir didalam kehidupan. Menyentuh, bergairah
dan menyenangkan.
Tapi
hidup baru telah menunggu didepan. Bukan hanya dia dan mereka yang telah hadir
mengisi pelangi kehidupanku… tapi masih banyak lagi. Dan banyak kisah yang
ingin kutunjukkan dan itu mungkin – lain kali.
END
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon