Love of Being - Hari yang Akan Membawa Perubahan


3 Desember 2013, Cherrystone, washingtone
Hari ini tidak mendung, Samantha dan Ralf mengajakku bermain bulu tangkis ditaman belakang sekolah. Aku mengikuti saja, ketika Samantha menarik tanganku. “Cepatlah... Ralf sudah menunggu” ujar Samantha sambil menggoyang-goyangkan raket diatas kepala. Sebelumnya, aku sudah memberitahu mereka kalau aku tidak bisa main bulu tangkis, tapi Sam mengatakan “tidak apa-apa, kau hanya duduk dan melihat saja”. Yah... mau bagaimana lagi, aku juga terlalu bosan jika berada didalam kelas. Benarkah?
Kami melewati halaman sekolah, berlari kecil. Wajah Samantha terlihat berseri-seri dan tiba-tiba saja dia berhenti didepan anakan tangga. Dan aku sedikit tersentak lalu mengalihkan mata dari buku kearah tangga.
“Ah... Daniel, apa yang sedang kau lakukan? Dan- ” Aku melihatnya, Samantha menyenggol sikuku pelan.
“Bagaimana? Sekarang apa yang kau rasakan?” ujarnya setengah berbisik.
“Samantha, E-ever. Kalian mau kemana sepertinya terburu-buru?” tanya Daniel, sudah tentu aku melihatnya bersama gadis itu. Gadis yang kulihat bersamanya didepan loker. Aku tidak terbiasa dengan hal ini.
“Kami akan bermain bulu tangkis, kau mau ikut? Ralf sudah menunggu, cepatlah” ujar Samantha. Aku tidak melihat kebelakang lagi, aku tidak melihat wajah Daniel dan gadis itu, Samantha menarikku dan berlari, kami sudah jauh dari mereka.
“Jadi bagaimana rasanya?” tanyanya, suara kelelahan terdengar dari tenggorokannya.
“Apa?”
“Yang tadi, bagaimana pendapatmu?”
“Biasa saja, aku sama sekali tidak merasakan apapun, jangan mengatakan hal yang tidak penting lagi Sam, aku tidak mau mendengar lagi”
“La la la ... kau berbohong”
Aku mengambil tempat dibawah pohon cherry sambil membaca buku sejarah. Rupanya ramai sekali ditaman belakang sekolah. Beberapa siswa-siswa duduk-duduk mengobrol, dan beberapa lagi menyantap bekal makan siang. Anginnya juga segar, dan tempat yang pas untuk menenangkan diri. Ralf dan Samantha bermain bulu tangkis, sesekali mereka tertawa akibat kesalahan Samantha yang melempar bola putih kecil itu keluar garis. Dari kejauhan, kulihat Daniel berjalan kearah kami, tunggu... dan gadis itu.
“Yo... Daniel, ah... Avril, apa kabar. Cuaca hari ini sangat cerah, senang bertemu denganmu” sapa Ralf
“Oh... Hei Ralf”
Daniel berjalan kearahku, dan duduk didekatku diikuti pula oleh gadis itu.
“Sepertinya, beberapa hari ini kau selalu menjauhiku. Ada apa denganmu?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin belajar”
“Benarkah?”
“Aku tidak suka, jika kau menjauhiku” lanjut Daniel
“Aku juga butuh suasana tenang dan sendiri. Dan jika ada kau--” aku terdiam, dia belum mengerti.
“Aku? Kenapa denganku?”
“Jika bersamamu dadaku terasa sakit, dan aku tidak bisa fokus belajar. Jadi aku tidak mau bertemu denganmu” ujarku. Aku diam, begitupun dia. Hanya suara ribut disekitar seolah mengisi kekosongan ditempat itu. Aku tidak lagi memikirkan yang lainnya, aku nyaris ketahuan atas ucapanku tadi.
“Hei... Kau belum mengerti juga?” kudengar gadis itu. Avril berbicara kearah Daniel.
“Dia memiliki perasaan yang spesial terhadapmu. Kenapa kau tidak mengerti juga?” aku melihat, dia baru saja berbicara dengan keras kearah Daniel, aku juga mendengar suara tersenggal dari tenggorokannya, seluruh mata menyorot kearahnya, beberapa menit kemudian dia berlari pergi meninggalkan kami.
“Ada apa dengannya?” tanya Ralf. “Hahaha... aku baru saja melihat dia berkata spontan seperti itu”
“Kau harus mengejarnya Daniel” ujar Samantha, dia melirik sedikit kearahku.
“Aku? Kenapa harus aku?” Daniel bingung
“Bukankah kau yang mengajaknya kesini. Cepatlah”
Daniel berlari meninggalkan kami. Pada saat itu, aku melihat langit begitu cerah diawal desember, sampai-sampai matahari disana menyengat mataku hingga aku menyipit. Dapat kubayangkan sentuhan masa lalu menjelajar dan mengkorek isi dalam kepalaku, membawaku pada beberapa tahun silam. Ketika berumur 9 tahun mulai menghias didalam memori otakku, memaksa untuk mengingat masa lalu yang pernah tercatat dalam hidupku.
Aku berada di beranda depan rumah, mengayunkan kakiku yang menggantung dan memandangi kendi berisi air dan ikan koi pemberian nenek sebagai hadiah dihari ulang tahunku ketika aku akan menginjak umur 9 tahun. Dapat kurasakan sentuhan angin menyapu pelan wajahku,
“Ever. Kesini... makanan sudah siap” ujar ibu menenteng nampan makanan keberanda depan. “Kau menyukai ikan pemberian nenek?” tanyanya.
“Aku menyukainya”. Aku memasukkan tangan kedalam kendi dan mengambil ikan itu, tapi semakin aku ingin menangkapnya malah semakin sulit. Ikan-ikan itu terus berenang menjauh.
“Apa yang kau lakukan, nanti ikan itu mati” marah ibu, kemudian aku berlari kecil kearah ibu dan duduk disampingnya sembari menyantap makan siangku.
 “Tahun baru nanti, kita pergi menonton kembang api ditengah kota. Ayah akan pulang dan kita bisa mampir kerumah nenek” ujar ibu dan aku mengangguk.
“Aku sudah selesai dan aku akan belajar” ucapku kembali masuk kedalam rumah. Belajar itu menyenangkan. Aku suka menyelesaikan masalah dengan cepat dan aku selalu mendapatkan hasil atas usahaku sendiri. Belajar membuatku merasa lengkap.
“Apa benar-benar tidak bisa? Tapi bagaimana dengan---? Kau sudah berjanji akan mengajak mereka kerumah ibu” ujar ibuku berbicara dengan seseorang yang berada diseberang. Ibu sedikit menaikkan oktaf suaranya.
Aku dan adik kecilku-Troy, melihat ibu yang sedang berbicara ditelepon. Baru kali ini aku melihat wajah ibuku tegang.
“Kau tidak bisa membatalkan janji begitu saja” ujar ibuku lagi. Tepatnya pada malam tahun baru yang tidak ingin kami lewatkan sekeluarga.
“Maafkan aku sayang, aku tidak bisa. Kita akan pergi besok saja, bagaimana? Malam ini aku tidak bisa pulang. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan” ujar suara dari seberang yang kuyakini adalah suara milik ayah.
Aku membawa adikku yang berumur enam tahun itu kekamar. “Sebaiknya kau tidur. Nanti kalau ayah sudah datang, aku dan ibu akan membangunkanmu. Kemudian kita akan pergi ke rumah nenek” ujarku mengelus rambut tipis Troy. Dia naik keatas kasurnya kemudian berbaring, aku menutup pintu kamarnya pelan dan keluar menuju beranda depan.
Aku Melihat kendi ikan pemberian nenek dihari ulang tahunku.
“Lei, sepertinya tahun baru ini tidak akan dirayakan dirumah nenek” kataku, berbicara pada hewan koki yang bergerak didalam air. Ikan itu, naik ke permukaan kemudian menyelam lagi.
“Ever” panggil ibuku dan membuatku beralih kearah ibuku yang sudah berdiri diambang pintu.
“Apa Lei baik-baik saja?” lanjutnya, dan menuju kearahku kemudian duduk disampingku.
“Iya, kufikir seperti itu”
“Kamu pasti kecewa” ujar ibuku pelan, dia menyentuh punggung tanganku dan mengelusnya pelan. “Ayah tidak bisa pulang malam ini” lanjutnya. Dia menarik nafas dan menghembuskannya pelan.
“Karena pekerjaan” ujarku cepat.
Ibu mengangguk, aku masih memandangi Lei yang bergerak bebas didalam kendi.
“Tidak apa-apa” kataku, walaupun aku merasa didalam hatiku bercampur dengan berbagai macam perasaan yang aneh. Tidak senang, kecewa, marah dan sedih. Semua itu berbaur menjadi satu.
Tahun kemarin, ayah juga menjanjikan hal itu, tapi dia tidak bisa. Aku, ibu dan Troy akhirnya merayakan tahun baru dirumah. Dan keesokan harinya, kami bertiga pergi mengunjungi rumah nenek. Aku tidak bisa menyaksikan pesta kembang api mercusuar yang setiap kali diceritakan nenek padaku ketika aku berkunjung kerumahnya.
“““

 AKU memalingkan wajah kearah lain, kurasakan angin menabrak wajahku dan mengembalikanku pada ingatan dan diriku yang sekarang. Perayaan tahun baru akan datang, mungkin ayah akan pulang. Dan kendi berisi ikan koi telah kosong. Lei sudah mati, dua bulan setelah perayaan tahun baru. Ikan yang malang. Dia tidak bisa menyaksikan tahun depan bersamaku, dan setelah itu.. aku tidak mempunyai teman yang sering kuajak berbicara dan mencurahkan segala isi perasaanku ataupun apa yang ada didalam fikiranku.
4 Desember 2013, Cherrystone, washingtone
“Selamat pagi Daniel” sapaku, ketika kulihat dia baru kembali dari loker. Aku tidak mendengar dia membalas, dia seperti heran padaku. “Ada apa?” lanjutku mengetahui keterdiamannya.
“Tidak, kau sudah kembali seperti biasanya ya?”
“Oh... kemarin ada yang salah denganku. Maaf. Kita masih berteman kan?” ujarku tersenyum sambil melipat tangan dibawah dada.
“Mulai sekarang, kita akan menjaga hubungan kita” lanjutku. Aku tidak tahu kenapa aku bingung, yang penting sekarang adalah aku ahrus belajar. Untuk memastikan, bahwa masa depanku cerah. Aku tidak membutuhkan apapun yang membuat perhatianku beralih. Aku meninggalkan Daniel yang masih berdiri didepan koridor.
“Ever... apa kau baik-baik saja?” suaranya terdengar ketika aku sudah berada jauh beberapa langkah darinya.
“Ada apa denganmu? Tentu saja aku baik-baik saja” aku membalikkan setengah badan lalu tersenyum kearahnya. Aku akan lebih memikirkan masa depanku selanjutnya. Aku akan berusaha untuk tidak memikirkan hal-hal negatif yang mengganggu fikiranku.
SCENE Other

‘Daniel, perasaan suka seperti apa yang kau rasakan terhadap Ever? Apa kau menyukainya sebagai lawan jenismu?’ kalimat itu terus terngiang didalam kepala Daniel, hingga ia merona sendiri. Ketika angin berhembus, seolah menerbangkan rambutnya. Dia menoleh kearah gadis yang berjalan meninggalkannya. “Kau mau diam berapa lama lagi? Pelajaran akan segera dimulai” ujar gadis itu berbalik ketika dia sadar bahwa Daniel tidak mengikutinya. Daniel berlari kecil kearah Ever dan berjalan disampingnya.
Previous
Next Post »