21 November 2013, Cherrystone, washingtone
Sore ini aku dan Troy pergi ke
toko buku yang baru dibuka, tempatnya tidak jauh dari rumah. Aku membantu Troy
mencari buku sejarah Amerika, kami menelusuri ruangan bercat hijau itu.
Beberapa buku tertata rapi di bagian rak yang terbuat dari kayu dengan motif
biru tua, seperti menyatu dengan tirai berwarna biru-keputihan yang beterbangan
akibat hembusan angin. Terkesan elegan dan klasik pada zaman sekarang. Beberapa
pajangan lukisan besar terpampang didinding. Aku sempat berfikir, apakah disini
menjual lukisan juga? Aku tertarik pada lukisan patung Liberty dengan langit
agak kehitam-hitaman ditengah kota.
“Aku heran, mengapa para
pengunjung seringkali mengamati lukisan Liberty itu” aku tersentak dengan
ucapan seorang pria yang tengah berdiri di belakangku. Namun aku tak
menggubrisnya, dia berdiri disebelahku.
“Kau dari SMA Cherrystone?” ujar
pria itu sembari tersenyum kearahku, aku hanya menyipit memastikan apa maksud
senyuman itu?.
“Hei... berhentilah menatapku
seperti itu. Apa kau fikir aku seorang penjahat atau sejenisnya?” lanjutnya,
seolah mengerti apa yang tengah menggerayang dalam fikiranku. ‘Hhh... berhentilah seolah engkau
mengenalku’
. “Cash Everdeen, gadis yang
memiliki IQ diatas rata-rata 90%. Acuh dan tidak memiliki teman satu-pun”. ‘Berhentilah berkata seolah kau mengenalku
saja’. Apa-apa’an
itu? Aku tidak memiliki teman? Cih..
“Selalu mendapat peringkat pertama di kelas dan
berani menegur serta bersikap acuh terhadap guru”. ‘Hhh... apa maksudnya ini? Jangan bertindak seolah kau tahu banyak
tentangku
’“Oi...Oi, berhentilah
memasang wajah seperti itu. Ehm... aku senang bertemu-”.
“Siapa kau?” ujarku dingin, sikap
aneh dan sok tahu. Menyebalkan.
“Kau dingin sekali” lanjutnya,
“Baiklah, namaku Drayson, kau bisa memanggilku Dray. Salam kenal Ever, aku pergi.
Dan kuharap kau bisa membantuku” ujarnya dan berlalu meninggalkanku. Membantu?
Bantu apa? Aku bahkan tak mengenalnya, apa yang bisa kubantu. Sepertinya dia
salah orang, aku memandangi punggungnya yang berlalu menjauh dari hadapanku.
“Ever...” Aku tersentak ketika
kurasakan tangan seseorang menepuk bahuku pelan.
“Hei..., bisakah kau tidak
mengejutkanku?” ucapku sedikit membesarkan oktaf kalimat ketika kulihat Troy
berdiri sambil tersenyum miring kearah jendela.
“Hei... kau bertemu siapa? Aku
bahkan tak melihat wajahnya” ujarnya kemudian,
“Akan kuberitahu Daniel”
lanjutnya. “Apa maksudmu? Aku bahkan
tak mengenal orang tadi. Berhentilah berfikir hal-hal yang tak sepatutnya kau
fikirkan. Bagaimana? Apa kau mendapatkan buku-nya” ujarku dan ia tersenyum
sambil mengangkat kedua alisnya.
“Ini...” ujarnya mengangkat
tangan kanannya dan memperlihatkan buku yang ia dapatkan. -Sejarah Amerika
tahun 1879-. Dan kami-pun langsung pulang.
22 November 2013, Cherrystone, washingtone
Aku berjalan melewati koridor
kelas, dari arah yang berbeda Samantha berdiri sambil melambai kearahku. Ralf
dan Daniel pun berada disana, aku tersenyum kearah mereka.
“Seperti biasa, untuk master Cash
Everdeen, kau dipersilahkan untuk berjalan lebih dulu” ujar Samantha. Yang
membuat mereka bertiga tertawa, hhh... sejak kapan Samantha memanggilku master?
Dan apa ini lucu? Aku menyelingkan mata kearah Samantha. Bagus. Dan ia
menghentikan tertawanya. Kalimat macam apa itu?
“Berhentilah seperti itu Ever,
kau bahkan menakuti Samantha. Sudahlah... ini hanya bercanda. Samantha
mengatakan hal itu karena setiap kita jalan bersama, kau seperti pemandu” ujar
Daniel.
“Aku tidak mempermasalahkan hal
itu. Aku juga tidak mengerti maksud Samantha. Ayo...” ajakku. Daniel menyamakan
langkah denganku. Aku hanya memandang kedepan dan diam. Sementara Daniel, Ralf
dan Samantha mereka sibuk membicarakan hal yang menurut mereka lucu. Suara
tertawa mereka seakan membuatku tenang. Tuhan,
aku senang.
Sepulang sekolah, aku, Daniel,
Ralf dan Samantha akan pergi ke rumah Daniel. Kami akan minum anggur merah
bersama. ‘Dylan
sudah membeli banyak anggur, dan menyuruhku untuk mengundang kalian’
ujar Daniel. Orang yang baik.
Sepulang sekolah, aku
memperhatikan gelagat Daniel untuk kali ini dia lebih banyak diam, tidak banyak
omong seperti biasa? Apa yang sebenarnya difikirkan oleh pria ini? Kami
melewati jalan raya, disekitaran lebih banyak orang yang lalu-lalang.
“Apa perlu kita mampir sebentar?”
ucap
Daniel disebuah minimarket kecil. “Aku ingin membeli sesuatu” lanjutnya.
“Kau ingin membeli apa?” tanyaku
heran, tidak seperti biasanya.
“Yah... sesuatu untuk dimakan
nanti” ucapnya tersenyum, namun senyumnya terlihat getir dan sedikit takut.
Entah apa yang membuat pria itu terlihat berbeda hari ini.
“Kau benar. Untuk kita makan
dirumah Daniel. Ayo...” ujar Ralf dan membawa Daniel masuk, kemudian diikuti
oleh Samantha yang terlihat bersemangat juga. Sepertinya mereka belum menyadari
perubahan Daniel hari ini. Akupun mengikuti mereka. Mereka memilih beberapa
snack dan apple. Kemudian kami membayarnya dikasir wanita yang tersenyum dengan
topi merah khas perusahaan tempatnya bekerja.
“Kenapa harus membeli ini?
Bukankah kita bisa mengambilnya dirumahku?” ucapku pada akhirnya.
“Apa makanan seperti ini ada
dirumahmu Ever? Sepertinya tidak, kufikir kau lebih menyukai roti dengan selai, atau
makanan yang mengandung lebih banyak gula” ucap Ralf dan Samantha pun
mengangguk mengiyakan.
“Ah... bodoh, aku juga terbiasa
memakan makanan seperti itu” ujarku kesal.
Kami sudah sampai dirumah Daniel,
Daniel sibuk mengoceh dengan Ralf membicarakan tentang baseball dan semacam
jenis olahraga lainnya. Aku bahkan tak mengerti, apa yang menarik untuk pria
macam ini. Dia sedikit aneh dan sulit dimengerti.
“Oh... Hallo” ujar sebuah suara,
dia? Orang itu? Orang yang pernah kutemui ditoko buku kemarin.
“Kau? Sudah kuduga” ujar Daniel
dan berlari meninggalkan kami. Apa artinya ini? Aku heran kenapa Daniel seperti
itu.
“Hei, Daniel” teriak Ralf dan
pria itu tak menggubris sama sekali.
“Ah... anak itu, biarkanlah”
lanjutnya, kenapa dia selalu bersikap santai seperti itu?.
“Oi... kalian datang juga” ujar
Dylan yang tiba-tiba muncul membawa beberapa gelas anggur merah.
“Dia adalah Dray, kakaknya
Daniel”
Oh... astaga? Kakak
Daniel? Pria ini?. Aku tahu, tapi masalah tentang dia adalah kakak dari Daniel,
aku baru tahu sekarang.
“Senang bertemu denganmu kak, Oh
ya... kenapa Daniel melarikan diri ketika melihatmu?” ujar Samantha yang
kemudian disambut oleh suara tawa dari Drayson, pria itu.
“Aah... dia memiliki semacam
penyakit yang, kau tau.. erm memiliki perasaan terhadap saudaranya” jelas kakak Daniel.
“Sejak kapan anak itu memiliki
banyak teman? Kalian mengurus Daniel dengan baik, terimakasih” lanjutnya.
“Dia juga sudah mau datang
kesekolah kak, ini berkat Ever” jelas Ralf.
“Aku tidak mengatakan jika itu
berkatku” protesku sambil menyesap anggur merah.
“Oh... kau ya? Tunggu, sepertinya
kita pernah bertemu. Tapi dimana?”. Keadaan kakak-beradik yang aneh.
“Toko buku” ucapku mengingatkan
dengan kesal.
“Oh... benar. Hahaha”. Bodoh,
bukankah waktu itu kau yang pertama kali menyapaku? Kau juga mengetahui
tentangku?. Daniel dan Drayson. Keluarga yang aneh, lalu Dylan?.
“Kalian bertiga, bersaudara?” ujarku akhirnya.
“Hahahaha....” suara tawa dari Drayson,
“Aku sepupu mereka” balas Dylan.
Daniel lebih memilih tinggal ditempat Dylan, ada apa? Yang jelas aku belum
mengerti. Aku tidak terlalu tahu banyak tentang Daniel dan apa yang difikirkan
oleh pria itu. Masalahnya, sekarang dia berada dimana?
Lama kemudian, kami-pun
memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah Dylan. Aku membantu membereskan
gelas-gelas kotor dan bekas sampah yang berserekan diatas meja. Sementara
Samantha dan Ralf sudah pulang. Setelah selesai, aku pamit pulang pada Dylan.
Dan aku tidak melihat Drayson. Aku menutup pintu rumah Dylan pelan, dan...
“Ever, kau Cash Everdeen. Senang
bertemu denganmu lagi” ujarnya.
“Tolong, jaga Daniel untukku.
Ya...” lanjutnya, kemudian aku mengangguk dan diapun masuk kedalam rumah Dylan.
Aku meninggalkan rumah Dylan dan,
sesuatu serasa menarikku sangat cepat hingga aku tak bisa menahan diriku
sendiri. Tubuhku terasa terbanting disemak-semak dan kusadari mulutku tertutup
oleh sebuah tangan. -Daniel-. Apakah dia bersembunyi ditempat ini?.
“Apa yang kalian lakukan?”
tanyanya sarkatis.
“Hanya meminum anggur” ujarku.
“Bisakah kau melepas tanganmu? Ini sakit” lanjutku.
“Oh... maaf” ujarnya dan menjaga
jarak agak berjauhan dariku. “Apa yang dikatakan Drayson?” tanyanya.
“Kau memiliki
perasaan terhadapnya,
apa itu benar?” jawabku.
“Apa? Tidak” balasnya. “Lalu
kenapa kau pergi?” tanyaku lebih penasaran.
“Bukan urusanmu, jangan banyak
bertanya”. Dia berbeda, ucapannya sarkatis dan bola matanya terlihat berbeda.
“Jadi begitu? Baiklah...” dan
akupun pergi meninggalkannya. Aku masih memikirkan Daniel, dia seperti ada
masalah dengan Drayson, aku tidak mengerti dengannya. Aku belum terlalu banyak
mengenalnya. Aku sudah berdiri didepan rumah, sebentar lagi matahari akan
tenggelam dan malam-pun akan tiba, aku memutuskan untuk kembali dan menemui
Daniel.
“Kenapa kau kembali?” tanyanya
yang masih duduk dengan menunduk dan terlihat sedih. Wajah itu, terlihat penuh
dengan fikiran.
“Kalau kau mau minum anggur, ada
dirumahku. Ada beberapa kue dan semacamnya. Ibuku membuatnya tadi pagi”
jelasku, dan kamipun pergi kerumahku.
Aku mengajaknya ditempat biasa -Halaman belakang rumahku-.
“Maafkan aku...” ujarnya lembut,
sambil menyesap anggur merah. Dia menghendus pelan dan beberapa detik kemudian
dia mengambil sandwich yang ada dipiring dan mengunyahnya pelan.
“Sejak bertemu denganmu, hanya
hal-hal baik yang terjadi padaku. Aku senang bisa bertemu denganmu.
Terimakasih” ujarnya dan itu membuatku memerah. Pasti sekarang aku salah
tingkah dan rona merah dipipiku tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghilang
dari wajahku.
“Aku ingin melakukan sesuatu
untukmu” lanjutnya meletakkan gelas yang sudah kosong diatas meja bundar yang
ada dibelakang rumahku. Selanjutnya dia mengambil tempat didekatku.
“Apa yang bisa aku lakukan
untukmu?” tanyanya kemudian. “Kencan. Berkencanlah denganku” ujarku spontan.
“Eh’- itu- a’. B-baiklah. Ti,tidak
masalah” ujarnya gelagapan.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon