Love of Being - Masalah di Sekolah dan Keluarga Daniel


29 november 2013, Cherrystone, washingtone
Pagi itu gerimis turun ditengah kota washingtone. Ever, gadis itu melindungi diri dengan payung yang bercorak bunga matahari dibagian pinggir. Ditangannya ada sebuah note kecil berisi kumpulan rangkuman sejarah.
“Ever, benar?” dia menghentikan aktivitasnya ketika seseorang dengan payung hitamnya sedang berjalan tepat disampingnya.
“Siapa kau?” ujar gadis itu dingin, ketika dia menoleh sebentar lalu melanjutkan aktivitasnya.
“Ternyata kau sudah menghapusku dari ingatanmu. Apa kau benar-benar tak mengingatku?” ujar pria itu.
“Apa sebelumnya kita pernah bertemu?” tanya gadis itu acuh.
“Seorang Ever tak mungkin mengingat hal yang tak penting. Benar?” ucap pria itu.
“Sepertinya? Jadi apa tujuanmu sebenarnya?” ucap Ever dan memasukkan notenya kedalam tas dan mereka menutup payung bersamaan ketika sampai dikoridor.
“Aku hanya memberitahumu untuk hati-hati. Sepertinya Katie belum puas dengan apa yang terjadi kemarin” ujar pria itu berjalan mendahului Ever.
“Apa yang kau lakukan dengannya?” ucap suara yang tiba-tiba muncul dibelakangnya dan membuat dia terlonjak.
“Daniel, kau mengejutkanku” uajr Ever mengelus dadanya pelan.
“Apa dia mengganggumu?” tanya Daniel dan berjalan disamping gadis itu.
“Tidak” singkat gadis itu.
“Daniel, Ever…” teriak seseorang ditengah keramaian koridor, dan membuat mereka menoleh. Samantha, gadis itu mengambil langkah seribu untuk menemui keduanya.
“Hujannya mungkin tidak akan reda” ucap gadis itu mengambil tempat diantara keduanya -Daniel dan Ever-. 
“Jadi… bagaimana kencanmu kemarin?” lanjutnya setengah berbisik ditelinga Ever, Ever terlonjak dan langsung melongo’ terkejut dengan ucapan gadis itu.
“Darimana kau tau…?” ucap Ever heran.“Dari sumber terpercaya” singkat gadis itu.
“““

AKU terkejut dengan pertanyaan Sam, darimana dia tau kalau aku dan Daniel kencan? Oh tuhan…  apa yang akan difikirkan gadis ini.
“Ayolah, ceritakan padaku” ujarnya, hingga membuatku merona. Aku mengalihkan pandangan pada Daniel sebentar kemudian memandang Sam yang tengah penasaran dengan apa yang telah terjadi kemarin. Aku ingin melupakannya, tidak untuk semuanya. Kejadian kemarin benar-benar mengganggu, namun ada beberapa hal yang ingin kuingat. Ingatanku tentang Daniel, benar-benar melekat.
“Apa ada sesuatu yang tak bisa kau ceritakan padaku?” lanjutnya, hei tak bisakah  kau membiarkanku untuk berfikir sebentar.
“Hei Ralf…” panggil Daniel dan membuatku melihat kearah Ralf yang tengah berdiri didekat mading sekolah.
“Hei… Daniel, Ever, Sam…” balasnya menyebut nama kami.
“Kau lihat ini.Bagian klub sastra sepertinya akan meluncurkan karya terbaru” jelasnya memperhatikan satu-persatu judul yang sudah terpampang di madding.
“Sepertinya ini akan menarik” lanjut Samantha.‘Semoga saja !!’ucapku dalam  hati.
“Waw… kau lihat dia Lizzy, dia bahkan tak tertarik dengan itu semua” aku melirik sejenak menangkap pembicaraan dua orang yang berdiri di sebelah kiri kami.Aku menarik nafas dan hendak meninggalkan tempat itu, namun Daniel mencengkal tanganku.
“Apa kau takut?” gumamnya pelan seperti berbisik. Iya, aku takut. Aku takut dia akan membalas yang kemarin terjadi padaku dan Daniel. Aku kembali teringat dengan pesan pria itu, sementara mereka  berdua adalah teman-teman Katie.
“Tetap disini, tidak  ada yang akan terjadi. Mereka sekumpulan orang yang hanya besar mulut saja” ucapnya kemudian menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan kecil. Aku membalas dengan senyuman tipis. Sebenarnya apa yang harus kutakutkan? Sebelumnya aku tidak pernah mendapat masalah sampai seperti ini dengan yang lain, kurasa masalah itu akan berakhir jika Daniel tidak membuat mereka marah kemarin.
“Jadi… bagaimana selanjutnya Marie?Apa kau akan terus seperti itu?” ucap gadis yang mugkin jika tak salah dipanggil Lizzy sebelumnya.
“Apa kalian ada masalah?” ujar Ralf, dia sedikit memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh gadis-gadis itu.
“Akan kuceritakan. Bagaimana jika pergi sekarang Daniel? Tidak ada untungnya mengurus gadis-gadis itu. Ayolah, ini akan semakin memperburuk keadaan” ucapku dan Daniel akhirnya menuruti kataku. Lalu kami pergi meninggalkan tempat itu.
Kami sampai didalam ruangan. Samantha menatapku penuh tanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kau, Daniel, kedua gadis itu? Dan mungkin… Katie?” cercanya.
“Kufikir, mrs. Rose akan melindungimu. Dan nyatanya kau sekarang akan menjadi bualan mereka. Oh Shit…” lanjutnya.
“Jadi… apa yang terjadi, ceritakan pada kami. Atau kalian akan dipermalukan oleh mereka” ucap Ralf. Aku duduk dibangkuku dan melihat kearah jendela. Kulihat Katie dan teman-temannya tersenyum, sepertinya kearahku. Dan kupastikan itu bukanlah senyuman persahabatan. Kuyakin itu adalah senyuman pembalasan, senyuman ketidaksukaan dan senyuman kemarahan.  Apa yang harus kulakukan, sekarang?. Aku tahu, gadis seperti mereka tidak akan tinggal diam. Tapi apakah kemarin itu begitu memalukan bagi mereka?
Tak lama, suara dentingan  bel terdengar dan jam pertamapun akan dimulai. Kami mengikuti pelajaran, dan kulihat Daniel tampak santai.Bagaimana bisa dia terlihat tenang seperti itu?Apa dia tidak takut dengan sesuatu yang akan terjadi padanya nanti? Ketika melihat matanya waktu dia menenangkanku tadi itu… dia seperti bersungguh-sungguh. Benar, seharusnya tak ada yang perlu ditakutkan. Mengapa  aku harus takut pada mereka? Aku tak perduli jika  aku benar-benar dipermalukan.  Aku selalu tahan dengan ketidakperdulian orang lain dan aku selalu acuh. Bukankah itu salah satu sifatku?Daniel memandangku dan tersenyum. Aku membalas dengan senyuman tipis pula.
Jam pertama berakhir, aku, Daniel, Samantha dan Ralf menuju ke kantin. Aku membawa nampan berisi jus orange dan sandwich.“Hei… disini” kulihat Daniel melambai kearah kami-aku dan Samantha-, dia terlebih dahulu memesan makanan bersama Ralf. Kami menuju tempat mereka, dekat jendela paling pojok, tepatnya didekatpohon akasia yang rimbun dan besar. Pohonnya besar dan tinggi, dahannya memanjang hingga dedaunan menyentuh jendela kantin sekolah. Aku menyantap makananku, Ralf dan Daniel sibuk mengoceh sementara Samantha memperhatikan pukat laba-laba yang membentuk sarangnya di ventilasi jendela. Dia Nampak asyik dalam fikiran dan imajinasinya.
“Aku tidak membayangkan bagaimana jika Katie berada disini dan berulah denganmu Ever” ujarnya dan  memandang kearahku dengan wajah cemas.
“Bayangkan saja sekarang” celotehku dan menyedot jus orange yang ada dihadapanku.
“Apa yang akan dilakukan Katie dan teman-temannya nanti?Apa kau tidak khawatir”. Aku diam sejenak untuk berfikir, namun itu kucoba tepis dan terbawa akan perkataan Daniel, apakah itu seperti melindungi? Mungkin saja?
“Sudahlah, tidak usah difikirkan. Ever, kau jangan  takut. Aku akan melindungimu”
“Apa maksud semua ini?Apa kalian ada sesuatu?” ujar Ralf yang sepertinya tertarik dengan perkataan Daniel barusan.
“Tidak ada apa-apa.Kalian jangan berfikir macam-macam”. Aku yang merasa malu dengan pertanyaan Ralf.
“Wajahmu memerah Ever, kau jangan berpura-pura” Ada apa dengan Samantha, kenapa dia ikut-ikutan.
“Tidak, sungguh kami  tidak ada apa-apa. Benarkan Daniel”
“Sepertinya begitu”
Apa-apaan pernyataan itu?Kau lebih menikmati makananmu rupanya. Aku tidak begitu yakin dengan semua ini. Apakah aku harus percaya  dengan ucapan Daniel?.
Kami kembali dari kantin dan hendak menuju kelas. Aku melihat Katie dan teman-temannya tersenyum kearah kami. ‘Jadi bagaimana sekarang?’ seolah pertanyaan itu ingin segera kulontarkan pada Daniel. Sekarang ini. Ketika kutahu dia benar-benar tersenyum seperti setan dineraka. Ya tuhan… apa yang akan terjadi selanjutnya?.
“““

Bel pulang berbunyi. Aku dan Daniel pulang bersama, dia mengajakku untuk jalan-jalan. Sebenarnya apa hubungan kami sekarang? Bukankah dia  tidak menyukaiku, dia menyukaiku hanyalah sebatas teman. Mungkin, itu yang kufikirkan.
“Hei Ever…” aku menghentikan langkahku. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan bagian lengannya dilipat sampai siku. Beberapa siswi perempuan sedang mengerumuninya, dia melambai dan aku tersenyum.
“Kau mencari Daniel? Dia ada disini” ujarku menunjuk kearah samping tapi…
“Dia tidak bersamamu Ever, aku melihat kau hanya berjalan sendirian”
“Tapi… barusan aku bersamanya, kemana perginya?”
“Aku tidak melihatnya bersamamu” dia berjalan kearahku “Kau ada waktu?” tanyanya
“Ada apa?”
“Aku ingin berjalan-jalan denganmu  sebentar. Apa bisa?”
“Baiklah”
Kami meninggalkan sekolah dan kekaguman para siswi yang masih berdiri di depan gerbang sekolah bercat biru itu. “Aku akan minum latte” ujarnya lalu menarikku kepinggir jalan, mengetuk jendela Java the hut dan memesan kopi expresso.
“Kau mau?” tanyanya, seorang anak memberikan pesanannya lewat jendela pelayanan.
“Tidak, terimakasih”  
“Sekarang? Kemana?”
“Bukankah kita akan pergi jalan-jalan? Kau ikut saja”
“Aku tidak mau membuang waktu”
“Hei, ayolah. Aku ingin membicarakan tentang Daniel” Degh… aku sedikit tersentak, namanya lewat begitu saja. Ada apa dengan Daniel? Benar! Aku belum mengetahui terlalu banyak tentang pria itu, lalu apa sekarang?
“Aku tidak mau ditempat ini. Kita akan mencari tempat yang lebih baik, lebih tenang dan nyaman” lanjutnya, kemudian berjalan mendahuluiku. Aku mengikuti, ia terlihat santai sambil meminum kopi-nya. Dia tidak ada bedanya dengan Daniel.
Daun-daun mapel terlihat basah akibat hujan tadi pagi, jika saja musim semi maka akan berwarna orange terang dan dedaunanya akan berjatuhan. Siluet cahaya berbentuk pisau menyambar didahan pohon, burung-burung kecil berkicau membuat sedikit keramaian ditempat itu. Hanya satu, dua orang yang lewat membuat tempat itu terasa tidak mengganggu.
“Bagaimana hubunganmu dengan Daniel?” ujar Drayson, dia meminum habis kopinya kemudian membuangnya di tong sampah berwarna biru.
“Aku hanya temannya”
“O-ooh, kufikir hubungan kalian lebih dari sekedar  teman.  Jika dilihat, kau dan Daniel seperti sepasang kekasih”
“Aku sudah mengutarakan perasaanku  padanya, tapi dia menolakku” ucapku
“Oh..benarkah? Kau memang hebat” ucapnya, “Kau tunggu sebentar, aku ingin membeli sesuatu ditempat ini” lanjutnya dan pergi meninggalkanku sendiri. Aku berjalan-jalan ditempat itu, bunga lilac kecil tertanam di sebuah kebun kecil berbentuk segitiga. Bunganya terlihat rimbun dan baunya tercium juga olehku. Didekatnya ada bangku kayu panjang. Di bagian ujung kiri, ada jembatan gantung kecil dan dibawahnya mengalir anakan sungai. Aku memutuskan untuk duduk dibangku panjang itu sambil menunggu Drayson.
“Ternyata kau ada disini. Aku mencarimu…” ucapnya dari arah kanan menenteng sebuah kantung plastik.
“Kau  darimana?”
“Aku mau memakan makanan yang  manis. Jadi aku membeli donat” ucapnya dan mengeluarkan kotak kecil berbentuk persegi panjang berwarna merah muda dan terdapat pita merah diatasnya.
“Ini…” dia memberiku satu donat yang dilapisi meses warna-warni diatasnya. “Makanlah…” lanjutnya. Aku memakan donat itu dan… umm enak.
“Aku menyukai  makanan yang manis. Ketika aku di Australia, aku sangat ingin memakan makanan seperti ini. Kau tau… aku menyukai makanan yang manis, seperti ini. Dan waah… aku sangat ingin memakan pizza, mayonnaise, pepperoni, minestrone aah… aku akan meminta Dylan untuk membuatkan makanan itu” tuturnya.
Sebenarnya, dia ingin membicarakan Daniel atau tentang makanan yang ingin dimakan, aku mulai bosan. Aku melahap donatku habis.
“Kau mau lagi?” tawarnya, dan aku menolak. Aku merasa kenyang.
“Aku senang berada ditempat ini. Disini banyak makanan” ucapnya, dan melahap cepat donatnya. Apa dia tidak bisa pelan-pelan?
“Aku ingin membicarakan tentang… Daniel” ucapnya, dia berjalan menuju jembatan gantung dan menyenderkan punggungnya dibesi-besi penyanggah jembatan. Aliran deras sungai membuat dia mengeraskan suaranya. Aku sudah menunggu untuk membicarakan itu, tapi kau malah membicarakan tentang makanan.
“Mengapa Daniel belum datang juga? Apa dia tidak menerima pesanku?” lanjutnya
“Kau mengirimkan pesan untuk Daniel. Apa dia  akan benar-benar datang?” tanyaku, dia tersenyum kemudian berbalik menopang kedua tangannya pada besi-besi penyanggah jembatan itu, dia melihat aliran air sungai.
“Jika itu menyangkut tentangmu, kuyakin dia akan datang” ucapnya sembari tersenyum kearahku.
“Ayah ingin Daniel kembali kerumah” katanya.
“Ayahku meminta untuk membawa Daniel kerumah” lanjutnya, dia mengangkat kepala memandang langit yang terlihat sedikit redup.
“Apa yang terjadi?”
“Kau menghalangi Daniel untuk pulang”
“Aku? Apa alasannya?”
“Karena kau, jika kau masih berada disekolah atau disekitarnya, dia tidak akan pulang. Aku ingin kau meninggalkannya” Hening. Aku tidak mendengar apapun, bahkan desau angin yang lewat tidak terasa, yang ada hanyalah sayup-sayup kerisauan.
“Apa maksudmu?” ujarku mengembalikan diriku pada kondisi sebelumnya. Sesaat aku merasa hancur dan melebur, tapi sesaat lagi aku terkontrol.
“Selama kau berada disisinya, dia tidak akan pulang” dia mendekat kearahku, bukan masalahku jika Daniel tidak ingin pulang. Tapi apa maksudnya? Apa akan lebih baik jika aku menjauhi Daniel?.
“Drayson”
Daniel muncul, lalu merangkulku dari belakang. Dia membuatku terkejut. Entah, aku tidak tahu… matanya memandang tajam kearah kakaknya seperti elang yang siap mencabik mangsanya.
“Apa yang kau inginkan?”
“Membawamu pulang. Apa lagi?” ujarnya memandang kearah Daniel lalu tersenyum, sangat transparan. Senyuman tulus ataukah evil yang dipancarkan wajahnya itu. Apakah Daniel akan pulang? Aku tidak mau pergi. Benar-benar tidak bisa.
“Aku tidak akan pulang, kita pergi” ujarnya dan menarik tanganku
“Daniel…” aku berhenti dan menarik keras lengannya hingga ia berhenti, aku tidak tahu apa yang difikirkan pria ini. Kuyakin dia tidak tenang, dia ingin kembali.Tapi tidak bisa mengatakan itu pada kakaknya.
“Kita dengarkan dulu penjelasan kakakmu” ucapku, kemudian dia berbalik.
“Apa yang ingin kau katakan? Jika kau memintaku untuk kembali ketempat itu, aku tidak akan mau. Karena disana tempat sarang para iblis, aku tidak akan bersama iblis seperti kalian”
Kata-kata Daniel itu membuatku terlonjak, apa maksudnya? Masalah apa  sebenarnya yang terjadi dikeluarganya?
“Hahaha… aku tidak akan memintamu untuk kembali, aku juga tidak ingin kau kembali. Tapi ayah yang menginginkanmu untuk pulang”
Suara gertakan gigi Daniel terdengar, dan aku memegang telapak tangannya, matanya semakin tajam seperti elang, wajahnya memerah seperti menahan marah, aku tidak bisa apa-apa.
“Kau tenanglah… ayah akan membiarkanmu untuk tetap disini, jika  kau selalu pergi ke sekolah. Ayah tidak ingin jika kau tidak sekolah. Selama gadis itu berada disisimu, kau  pasti akan tetap mengunjungi sekolahmu bukan? Ayah berfikir, kau tidak pernah ke sekolah dan dia memintaku untuk melihat perkembanganmu. Dan seperti yang kulihat, jadi kau tidak  perlu pulang. Aku akan mengatakannya pada  ayah, dan kau akan diijinkan untuk tetap disini. Aku tidak ingin kau kembali, ingat itu Daniel” jelas Drayson.
Dia merangkulku dari belakang dan aku kembali tersentak, “Selama ada Ever, aku  akan tetap ke sekolah. Aku tidak ingin bertemu kau lagi, jadi jangan pernah muncul  lagi dari hadapanku. Ayo  Ever…” ujar Daniel, dia menggenggam tanganku kemudian menarikku pergi dari tempat  itu. Dari kejauhan kulihat Drayson tersenyum kearah kami, lalu melambai dan memandang langit yang sudah terlihat cerah. Ternyata 2 jam  telah berlalu dan awan sudah mulai terlihat cerah.
“Jangan menemui dia lagi. Kalau kau melihatnya, sebaiknya  kau lari saja” ucapnya
“Dia yang meminta untuk bertemu denganku. Akan tidak baik jika aku menolaknya” Kami berhenti didekat danau  kecil, sapuan angin lembut membawa suasana yang sedikit berbeda.
“Kau bilang kau menyukaiku”
“Kenapa kau mengatakannya?” aku malu, dan dia membelakangiku
“Daniel…”
“Jika  ada tempat yang membuatmu ingin kembali sebaiknya kembalilah. Aku tau, kau merindukan ayahmu, keluargamu. Jika kau ingin kembali, sebaiknya kembalilah. Tidak apa-apa” ucapku
“Apa maksudmu?Aku senang berada didekatmu. Aku senang bersamamu Ever” dia berbalik dan saat ini kami saling berhadapan.
Aku merengkuh wajahnya pelan dan mengusap pipi tirusnya, “A-apa yang kau lakukan?” ujarnya, wajah tirusnya kemerah-merahan.

“Aku tidak tau, aku hanya ingin melakukan apa yang ada didalam buku. Kurasa, jika kau gelisah kau lebih membutuhkan sentuhan dari seseorang. Jadi aku melakukan ini” ucapku agak malu, dia membalas tanganku dan mengusapnya pelan. Daniel tersenyum, sebuah guratan terang menerpa wajahnya, menyalip tubuh jangkungnya dan terlihat tulus dengan senyuman manisnya.
Previous
Next Post »