5 september 2013, Cherrystone, washington
Namaku Cash Everdeen, kau
bisa memanggilku Cash atau Ever. Aku hanya gadis biasa yang tidak memiliki
kelebihan apapun. Hidup ku biasa saja, seperti halnya masyarakat lainnya. Kau
tau... aku tidak terlalu suka
bicara dengan orang-orang,
bisa dibilang aku jarang bersosialisasi dengan orang lain. Aku hanya bicara
dengan orang-orang yang kukenal saja. Aku sekolah di SMA Cherrystone, dan DR. Sal Varkher
adalah kepala sekolah disana. Mr. Varkher adalah seorang pria paruh baya yang
sudah berumur setengah abad dengan kepala botak. Dia sangat berwibawa dan...
keras. Sikap keras mungkin lebih menonjol untuknya. Mr. Varkher yang sebenarnya
bukan orang Amerika ini memiliki wajah yang putih dan pucat, sangat kontras
dengan darah italia-nya.
“Ever...” suara khas baritone itu
terasa memekakkan telinga-ku. Yeah... sudah kuduga – Samantha Jody – sahabatku.
Orangnya feminim, otaknya bermasalah tapi tidak terlalu, tapi ketahuilah dia
seorang teman yang suka menceritakan dirinya padaku, dan dia gadis
yang baik.
Kami sering main bersama saat masih di taman kanak-kanak. Rumahnya tidak jauh
dari rumahku, terkadang aku sering mampir dirumahnya dan dia juga sering
kerumahku untuk bermain.
“Kenapa kau meninggalkanku?”
tanyanya berdiri dihadapanku sambil melipat tangan dibawah dada.
“Maafkan aku, jam dirumahku
sedikit bermasalah dan kukira aku sudah terlambat” ujarku pelan sambil
mengeluarkan beberapa buku dari ranselku.
“Kau selalu saja begitu, hhh...
melelahkan” ucap Sam dan duduk disampingku, kemudian melemas diatas mejanya.
“Kau kenapa?” tanyaku heran.
“Aku lelah berlari karena aku
terlambat naik bus. Kau tidak lihat aku kelelahan?” tanyanya, kenapa dia yang
marah? Sudah kukatakan,
bukankah
dia itu... agak sedikit bermasalah. Aku hanya menanggapi dengan gelengan
kepala.
“Bisakah kau berhenti untuk
membaca rumus kalkulus itu untuk sebentar saja? Hei dengar...” ucapnya menekan
setiap kalimatnya.
“Aku mendengarkanmu jadi
bicaralah sekarang” ucapku, terdengar sarkatis ditelingaku namun tidak terlepas dari sikap tenang yang selama ini
kupertahankan dilingkungan sekitarku. Bukankah, pada awalnya aku sudah mengatakan
alasannya. Yah, karena aku gadis biasa.
“Berhentilah bersikap seolah kau
baik-baik saja. Aku tahu tentang kejadian kemarin. Jadi ceritakan padaku” ucapnya mendekat
kearahku, hingga kurasakan tubuhnya semakin bergerak menyentuhku dan hampir
membuat ku tersungkur kesamping.
“Berhentilah menggeser tubuhku
seperti ini. Aku mau jatuh. Bersikaplah normal Sam... Tidak ada masalah
apa-apa, itu hanya salah faham. Jadi kau jangan mendesakku” ucapku. Untuk apa?
Untuk apa dia tahu, apa dia harus tahu? Aku bahkan tak tahu mulai menceritakan
kejadian itu darimana? Hei... disini aku yang menjadi korban, apa dia tidak mengerti?. Kudengar helaan
nafas keluar dari mulutnya.
“Baiklah... kau selalu seperti itu. Kau tidak bisa
terbuka padaku” kritiknya.
“Apa itu penting, hhh
menyebalkan” aku keluar meninggalkan Samantha yang duduk sendirian.
AKU bersender di salah satu pilar
koridor kelas sambil melipat tangan dibawah dada, aku mendesah... angin lembut
menerpa tubuhku dan menerbangkan beberapa helai rambutku. Suara hiruk pikuk
siswa ditengah koridor sangat mengganggu, tapi... jika aku kembali kedalam
kelas, pasti Samantha akan melontarkan beribu pertanyaan padaku dan aku tidak tahu bagaimana cara
untuk menghindari pertanyaan itu dan kufikir hanya inilah cara yang tepat.
Paling tidak, aku masih bisa mempelajari rumus kalkulus ini.
Teet
Teet...
Suara bel masuk terdengar dan aku
melangkah
memasuki kelas, Samantha masih melihatku dengan tatapan memohon ‘berhentilah seperti ini Sam’ batinku.
“Apa kau sudah memikirkannya?”
tanyanya antusias.
“Apa? Aku sama sekali tidak
memikirkan apapun, jadi berhentilah untuk bertanya padaku. Aku tak tahu harus
jawab apa. Dan kufikir...” aku terdiam sejenak.
“Kau tak perlu tau... dan itu
tidak penting” lanjutku. Aku tidak
tahu, mungkin aku telah menyakiti hatinya, tapi mengertilah Sam... aku tidak bermaksud untuk seperti
itu. Pelajaran pertama berlangsung
-Fisika-, kami mengikuti pelajaran dengan tenang walau ada beberapa yang masih
sibuk dengan omongan masing-masing dan berkutat pada diri mereka sendiri. Aku
sama sekali tidak perduli akan hal itu.
Aku berdiri di koridor depan
kelasku dan akan segera pulang, tapi sial... tiga gadis menghadangku sambil
melipat tangan di bawah
dada. Apa lagi ini?
“Hei... bukankah kau Cash?” tanya
seorang gadis yang tak kukenal kini berada tepat didepan ku- sangat dekat.
“Iya... ada apa?” tanyaku heran.
“Kau bertanya ada apa? Bukankah
kemarin kau yang menjatuhkan minuman sialan itu kebaju Katie? Berhentilah
berpura-pura tidak mengetahui apa yang telah kau lakukan. Kau bahkan tidak bertanggung jawab atas
kelakuan yang kau perbuat” ucap gadis itu. Oh... aku ingat, aku belum
menceritakan pada kalian. Yeah... ini termasuk salah satu jawaban
dari pertanyaan
Sam, aku tidak sengaja menjatuhkan
minuman kepada gadis itu -Katie-, gadis paling populer disekolah, dan APA
masalahnya?
Aku bahkan sudah meminta maaf, aku tidak sengaja... entah apa yang menyandung
kakiku dan tiba-tiba tubuhku terasa terhuyung dan langsung, nampan berisi secangkir
teh panas
mengenai gadis itu-Katie-. Dan sempat kulihat, beberapa temannya tersenyum
mengejek dan setelah itu aku mendengar..
“Hei apa yang kau lakukan?” gadis itu menjerit dan
seolah-olah akulah si
tersangka.
“Kau tidak tahu berapa
harga baju ini? Aku baru membelinya dan kau baru saja mengotorinya” suaranya terdengar
menggelegar ditengah-tengah keramaian kantin.
“Aku tidak sengaja,
sungguh maafkan aku” ucapku. Plakk... satu tamparan mendarat dipipi kiriku. Hei
apa masalahnya? Aku tidak sengaja. Apa gadis populer dan sangat disegani
disekolah bahkan sangat diperebutkan oleh semua lelaki di Cherrystone ini boleh
bertindak seenaknya?. Mungkin dia berfikir, tentu saja gadis seperti
dirinya bebas melakukan apa saja sesuka hatinya. Itu buruk.
“Maaf” ucapku dan berlalu meninggalkan
gadis-gadis itu. Sempat kudengar mereka berteriak
“Hei... gadis sialan. Kau harus
mengganti semua ini”. Aku tidak
perduli
dan... itu sangat
mengganggu.
Dan sekarang... aku dihadang oleh
gadis-gadis yang kemarin, tidak dengan... Katie.
“Biarkan aku lewat...” ucapku.
Oh... bahkan mereka tengah tersenyum seperti evil sekarang. Benar-benar
mengganggu.
“Kau mau lewat? Tidak secepat itu
nona, sebelum kau mencium kaki Katie” ucap gadis dengan rambut lurus sebahunya.
Aku melongo’ tak mengerti, cih.
“Hm...” gadis dengan rambut
blonde-nya menimpali.
“Ever...” teriak seseorang dan
sekaligus mengalihkan perhatian mereka.
“Hari ini kau selamat gadis
sialan. Tapi besok kau tidak
akan bisa lari dari kami.
Ayo...” ucap gadis berambut blonde itu-lagi. Aku melihat punggung mereka yang
sudah menjauh, setidaknya aku akan berterimakasih pada mrs. Rose.
“Ever... bisa kau kesini
sebentar?” ucapnya lagi dan aku-pun berbalik lalu berjalan kearah guru berumur
35tahun itu.
“Kudengar kau ada masalah? Apa
gadis-gadis itu salah satunya?” tanya mrs. Rose, dan aku hanya mengangguk.
“Apa aku bisa membantu?” tanyanya
lagi.
“Yah... kalau itu mungkin
terjadi, dengan senang hati aku akan menerima tawaran itu. Tapi... sekarang
akulah letak masalahnya” jelasku pasrah.
“Aku bisa membantumu, tapi kau
harus membantuku...” ucap mrs. Rose.
“Membantu apa? Anda jangan
memintaku untuk hal-hal bodoh atau semacamnya” ucapku memalingkan wajah
ketempat lain.
“Hei... kenapa kau berfikir
begitu? Kau jangan se-sarkatis itu. Lihatlah dirimu... Kufikir tidak ada
salahnya jika kau tidak memiliki teman gara-gara sikap mu yang seperti itu. Setidaknya Samantha masih
setia menjadi temanmu,
mungkin?” jelasnya. Apa masalah untuknya jika Samantha menjadi temanku? Kenapa
dia mengikutcampurkan Samantha? Apa penting untuknya?. Jika dia bukan wali
kelasku, mungkin aku takkan perduli? Atau mungkin. Yah... mrs. Rose adalah wali
kelas ku. Terkadang orangnya baik dan juga menyebalkan seperti ini, tapi... apa
boleh buat, dia juga telah membantuku-saat ini-.
“Baiklah... apa yang bisa ku
bantu mrs. Cardigans?” tanyaku pelan, sengaja mengambil nama belakangnya untuk
lebih menghormati, kufikir.
“Uh... itu. Ya... kudengar,
rumahmu bersebelahan dengan Daniel? Daniel Schrifer” ucapnya tersenyum.
“Daniel?Maaf Aku tidak
mengenalnya dan aku baru saja mendengar nama itu” ucapku jujur dan terkekeh
pelan.
“Apa? Kau jangan bercanda nona
Everdeen. Bagaimana bisa kau tidak tahu teman sekelasmu? Ya tuhan... apa saja
yang kau kerjakan di kelas. Dan... kau pasti juga tidak mengenal gadis-gadis
yang tadi bukan?” tanyanya. Aku hanya nyengir pelan.
“Aku mengenal mereka, tapi aku tidak tahu namanya. Hanya
Katie... gadis itu ya, dia gadis terpopuler di sekolah. Samantha yang
menceritakan padaku. Itu yang aku tahu” jawabku dan mrs. Rose hanya menggeleng
lemah.
“Aku akan memberikan alamatnya
padamu, dan kuharap kau memberikan ini pada Daniel” ucapnya dan memberikan
bungkusan map coklat padaku.
“Kenapa anda tidak menemuinya
sendiri? Kenapa harus aku?” protesku.
“Daniel sama sekali tidak mau
bertemu denganku. Oh... dia tidak pernah masuk sekolah, jadi... bisakah kau
membujuknya? Sekali saja!” pinta mrs. Rose memohon.
“Kenapa harus aku? Apa kau yakin
aku bisa melakukan ini? Aku sendiri... tidak begitu yakin” ucapku.
“Ayolah... aku yakin kau bisa.
Dia jarang sekali masuk sekolah, kalau terus begini... dia bisa saja
dikeluarkan. Aku bahkan tak bisa membuat alasan pada mr. botak itu. Jadi
bantulah aku. Kalau kau membantuku... aku akan membelikanmu buku rumus kalkulus
terbaru, bagaimana?”. Apa dia menyogokku?, entah kenapa aku menyetujuinya?
Ayolah... kufikir ini gara-gara rumus kalkulus itu sendiri.haha.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon