‘Hati
ini terlalu bertakhta untuk sebuah kehilangan’
(Eden
Bridge)
Ini
dimulai dari yang namanya kehidupan. Sebenarnya aku tidak tahu dari mana
mengawalinya, tapi sepertinya hidup itu dimulai dari sebuah pertemuan dan
diakhiri oleh satu kesepakatan yang namanya perpisahan. Entah perpisahan untuk
siapa dan kepada siapa? Mungkin setiap manusia pernah mengalami hal itu, awal
dari kehidupan.. Pertemuan yang dimana menimbulkan hal-hal yang sering tidak
terduga. Biarlah tinta yang kan memulainya melalui lembaran kertas hingga
disaksikan oleh tema dan kisah baru.
Aku
menyayangkan seandainya tema dan kisah baru itu mulai terjungkir-balikkan
dengan gumpalan warna ataupun takdir. Hitam, putih, merah, pekat, jingga, biru
ahh dan berbagai macamnya. Takdir, arght… aku sangat ingin menghindarinya,
terlalu menyakitkan… terlalu menusuk, dari kulit bagian atas hingga kepaling dasarnya
bahkan menembus guratan-guratan urat, ia serasa berselancar melalui aliran
darah yang setiap sentuhannya akan membekukan dinding dan seluruh isi dalam
tubuh.
Baik,
aku akan mengawalinya dari sebuah rumah sederhana yang berada dilingkungan
pinggir kota. Sebuah rumah yang terlihat damai dan berada di pinggir jalan andalus. Rumah yang memiliki ayunan dan
taman bunga yang indah dan hanya dihuni oleh seorang gadis yatim yang ditinggal
oleh ibunya kenegeri seberang, entah untuk alasan apa. Gadis itupun tak tahu.
Ia selalu berdiri dibawah pohon besar dihalaman rumahnya ketika senja menyapa
hingga tak terlihat. Setiap harinya, menyaksikan kawanan burung kutilang
menerjang awan atau melihat satu-dua burung kecil mematuk-matuk dahan pohon.
Eden,
panggil saja seperti itu. Pada suatu malam yang dingin dan sepi, aku mendengar
suara bedebam keras bersamaan dengan halilintar yang tiba-tiba saja mengusik
tidur. Keadaan sangat gelap, lampu mati dan aku menyalakan lilin bermaksud
untuk memberikan setitik cahaya didalam ruangan yang gelap. Namun, rasanya ada yang
menggugah hatiku.. memaksaku untuk mengetahui sesuatu yang terjadi diluar. Aku
tidak tahu pasti, namun hatiku terlalu memaksa.
Ia
begitu bersinar diantara malam, wajahnya terlihat lembut namun ada sedikit
goresan dibagian keningnya. Ia tertidur sangat pulas, aku dapat mendengar irama
nafasnya bersamaan dengan desahan angin yang membawa kehangatan dimalam itu.
Sebuah benda seputih salju melekat
dipunggungnya. Ada sedikit bercak merah kental pada benda itu, aku memegangnya
dan ia menegang. Matanya sedikit terbuka, dia menggumamkan sesuatu tapi aku
tidak dapat mendengar gumaman itu. Terlalu kecil dan serak.
“Kau
bisa berdiri?” tanyaku, dia mengangguk. Aku memapahnya kedalam rumah, hendak
membiarkan dia berbaring diatas ranjangku dan memberikan pengobatan pada luka
yang saat ini ia derita. Aku memolesinya dengan obat herbal buatan pamanku yang
tinggal di kaki gunung ernest.
Aku
memperhatikan wajahnya diruangan yang remang-remang, namun wajahnya terlalu
bersinar bak cahaya rembulan dipertengahan langit yang pekat. Sesuatu mulai
menggerayang dalam fikiranku, entah sebongkah ingatan ketika nenekku masih
hidup. Banyak hal yang telah terucap oleh bibir tuanya, untuk menenangkan dan
meninabobokkan ku ketika akan beranjak menuju alam mimpi. Ah.. rasanya aku
masih bermimpi dan kembali pada masa 14 tahun silam, dia sejenis makhluk yang
sering digambarkan dalam dongeng mitologi atau semacamnya. Aku mencubit kulit
tanganku, luar biasa sakitnya. ‘Bangun, bangun, bangun’ kataku dalam
hati. Siapapun, bangunkan aku.. pindahkan aku dari alam yang berbeda ini.
Alih-alih aku belum sadar, tapi rupanya ini benar-benar nyata. Dan dia sungguh
nyata.
Pagi
terlalu cepat menyemburkan senyuman matahari hingga memaksa masuk diantara
tirai-tirai jendela kamarku dan tertempa diatas wajahku. Aku menyipitkan mata,
melawan cahaya yang begitu perkasa menabrak kedua bola mataku. Aku mengalihkan
diri dari matahari, melihat sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tempat
tidur.
“Bagaimana
keadaanmu?” kataku berbasa-basi, bola matanya memandang lurus kearahku. Setelah
itu memperhatikan sekeliling, lalu kembali tertuju kearahku lagi.
“Terima
kasih. Kau sudah merawatku” ujarnya, dia berdiri kemudian berkeliling didalam
rumahku. Aku mengikutinya, “Dan untuk ini, kau sudah menyembuhkannya.
Terimakasih” katanya lagi sambil mengepakkan benda dibelakangnya, ketika kami
sudah sampai dihalaman belakang.
Sayap
seputih salju itu seolah bisa memanggil sekawanan angin yang dapat
menghempaskan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Dan aku merasakan hal itu,
nyaris hampir saja… tapi dia meraih tubuhku dan membawaku kedalam dekapannya.
Ia tersenyum sangat manis, mata abunya mengunci pandanganku dan seolah menelisik
kedalam ruang mataku, memerhatikan segala apa yang ada disana dan bagaimanapun
aku tidak bisa menjelaskan padamu, rasanya ia menelanjangi seluruh bola mataku
diantara kulit-kulit retina biru lautku.
Namun,
pandanganku yang terkunci mulai buram, serasa aku menabrak gumpalan awan hitam.
Beberapa benda menyalang diantara awan itu, sebongkah api mulai berdatangan
dari arah yang berlawanan. Aku ingin menghindari api itu, tapi kakiku terlalu
kaku untuk berlari dan akhirnya api itu menembus kulitku hingga kedasar dan
menyemburat diseluruh tubuhku. Aku tidak merasakan apapun, hingga kulihat api
itu melayang-layang disekitarku.
Kini
kakiku tidak kaku lagi, lalu aku melangkah membiarkan api terus menghantam ku
dan disitulah aku melihat sebuah jembatan kecil dan dibawahnya dialiri anakan
sungai yang airnya jernih. Seorang wanita berambut panjang sedang duduk di
pinggir sungai, sesekali ia menyentuh bunga-bunga disekitarnya. Bunga yang bermekaran
ditengah musim semi. Mendayu-dayu daunnya, meliuk-liuk tangkainya yang berwarna
putih pucat. Wanita itu memetik satu helai bunga, dan sosok anak kecil berlari
kearahnya.
“Bunda…
bunda, lihat. Aku menangkap Ody” katanya memperlihatkan seekor kupu-kupu cantik
berwarna-warni kepada wanita yang ada didepannya. Wanita itu tersenyum manis,
kemudian dia berdiri, kepakan sayap seputih kapas seolah menyenggol
rumput-rumput liar dengan lembutnya. Dia mengelus pucuk rambut lelaki kecil
itu.
“Fate
sayang sama bunda?” ujar wanita itu sembari mengelus pucuk rambutnya.
“Tentu
saja” katanya cepat.
Mereka
bergegas pergi dari tempat itu, dari arah timur tiga orang membawa tombak
dengan kuda bercula yang meringkik. Wanita itu menggandeng tangan Fate-lelaki
itu dan berjalan tergesa-gesa.
Aku
merasa bongkahan batu sebesar genggaman tangan membuatku tersandung hingga aku
meringik tapi tidak seperti ringkikan kuda bercula tadi. Warna yang kulihat
berbeda sebelumnya begitu pula tempat ku yang sekarang. Wajahnya terlihat menegang.
“Aku
melihat sesuatu” kataku pada akhirnya. Ia berkedip, dan membuang wajah.
“Lupakan”
katanya singkat. Tapi kurasa aku tidak bisa melupakannya begitu saja, apa yang
barusan ku lihat sepertinya berhubungan dengan dirinya.
Dia
melepaskanku dari dekapannya, dan terasa sedikit kaku. “Akan kubuatkan makanan
untukmu” ujarku dan pergi.
Aku
masih menyimpan beberapa daging dan sayuran didalam lemari es. Sesekali aku
melihat dia, yang masih menyesuaikan diri dengan sekitar. Sesekali ia melihat
pohon holy kecil yang tumbuh di belakang rumahku. Aku memasakkan nasi goreng
untuknya, agar ia tidak menunggu lama. Sepertinya ia sudah berjalan sangat jauh
sekali, energi yang ada dalam dirinya terlihat lemah tapi wajahnya masih tetap
bersinar. Aku bisa melihat, ketika ia memegang tiang bale-bale kecil di atas
telaga dekat taman.
Aku
membawakan makanan untuknya, menyuapinya sampai sisa-sisa diatas piring habis.
Mengupaskan apel untuknya, suara kunyahan dari mulutnya terdengar menelisik
kedalam telingaku.
Hari-hari
terus berjalan, aku tidak pernah meninggalkannya sendirian dirumah. Pernah…
disuatu malam, nafasnya terdengar kacau. Aku berlari kekamarnya, ia memelukku
erat.
“Ada
apa?” heranku.
“Bunda,
bunda… aku harus kembali” katanya berulang-ulang. “Aku meninggalkan bunda
sendirian ditempat itu” ujarnya lagi.
“Dimana?”
dia terlihat ketakutan. Wajahnya memerah, matanya menyalang… sayapnya beberapa
kali terkepak kebelakang hingga menerbangkan tirai dan memecahkan kaca jendela.
“Hei,
Fate… aku disini. Tenanglah” kataku menenangkan.
“Eden,
Eden, Eden…” panggilnya. Aku memeluknya, mengelus rambut hitam lebamnya. Berada
diatas ranjang tidurnya dan menina bobokannya. Itulah yang tiap kali ku lakukan
ketika ia dihantui oleh mimpi-mimpi anehnya. Dan tentang bundanya. Wanita yang
pernah kulihat bersama anak kecil dipinggir sungai, kemudian menghindari
orang-orang yang membawa tombak itu. Aku tidak pernah menanyakan hal itu pada
Fate, karena Fate tidak pernah mau membicarakan hal itu padaku. Aku siapa? Dia
siapa?.
Aku
dan Fate duduk di ayunan depan rumah, menikmati hembusan angin dan bisikan
malam. Ia tersenyum dan aku membalas senyumannya.
“Aku
mencintaimu” katanya, wajahku memerah. Sayapnya sedikit mengebas, aku dapat
melihat tulang-tulang dibalik punggungnya yang tertata rapi dengan bulu-bulu
lembut yang disempurnakan oleh alam. Dia mencium punggung tanganku.
“Mau
jalan bersamaku?” ujarnya lagi.
Aku
mengangguk, ia memeluk pinggangku. Perlahan kakiku serasa tidak menyentuh
tanah, aku merasa aman bersamanya. Wajahnya menerawang menatap langit yang
terlihat bersinar pada malam itu. Aku melihat sedikit genangan air jernih di
leher jenjangnya.
“Apa
tidak apa-apa?”
Dia
tersenyum, dia selalu lembut. “Tidak apa-apa” katanya. Kepakan sayapnya membawa
kami keudara. Diantara tanah dan langit, membumbung tinggi rasanya. Tetapi
beberapa desahan angin malam menyapa hingga menyentuh dinding selaput darahku.
Hingga hampir gertakan gigiku keluar, andai saja aku membaluti diriku dengan
pakaian tebal, mungkin aku akan terbiasa dengan sapaan dan sentuhan angin malam
yang terlalu ramai mengudara itu.
Suara
burung hantu terdengar dipohon-pohon, dia membawaku kemana? Entahlah.
“Aku
ingin berada ditempat ini” katanya, “Jauh dari orang banyak”
“Dulunya,
tidak seperti ini. Kau tau” dia berceloteh sendiri. Mendudukkan dirinya diatas bebatuan
besar. Hanya ada cahaya bulan, dedaunan pohon cherry mengering menutupi
sebagian batu dan memenuhi tanah. Aku bisa melihat bercak-bercak merah dibagian
sudut bebatuan. Banyak bebatuan disana dan ada beberapa yang dipenuhi oleh
lumut-lumut hijau.
Aku
menuju kearahnya, hendak duduk disampingnya. Entah mengapa dia selalu melihat
cahaya bulan akhir-akhir ini. Rembulan tampak menutupi sebagian langit,
diselanya ada beberapa bintang kecil.
“Jika
aku kembali…” ujarnya, dia hanya bergeming kemudian mengendus pelan.
“Aku
merindukan bunda” lanjutnya. “Bunda ada disana. Bersama paman dan yang lainnya”
katanya menunjuk bulan
“Apa
yang membuatmu jatuh ketempat ini?” kataku pada akhirnya. Tatapannya masih
tertuju pada bulan.
“Aku
terbang melampaui jalan cahaya. Jika mereka menemukan bunda, maka mereka akan
membunuh bunda. Arest tidak akan tinggal diam, dia membenci keluargaku”
“Siapa
Arest?” tanyaku bingung. Sepertinya aku mulai memasuki arah pembicaraannya dan
terus terang dia sudah mulai terbuka padaku.
“Adik
ayahku. Istrinya meninggal, ketika malam penobatan kesucian ditengah rawa-rawa
rembulan. Prosesi itu, memang sangat menakutkan. Arest berfikir bahwa istrinya
diberikan pada dewa rembulan sebagai persembahan” ujarnya.
“Apa
kau ingin kembali ke sana?” tanyaku sambil menunjuk bulan yang membesar. Cahaya
kekuningan disekitarnya, bulan itu terlihat terbelah… dibagian sisinya sangat
pekat. Anehnya, satu pun bintang tak ada disekitarnya.
Fate
menoleh padaku, wajahnya terlihat sempurna dibawah bulan besar itu bahkan
semakin sempurna. Tapi matanya terlihat kelam, “Jika aku kembali sekarang.. apa
kau akan baik-baik saja?. Dan Arest… mungkin akan langsung membunuhku. Sia-sia
saja pengorbanan bunda untukku” ujarnya pelan. “Tetapi, jika aku tidak kembali…
mereka akan membunuh bunda. Mungkin saja mereka sudah membunuh bunda” lanjutnya
sedu.
“Aku
tau kau merindukan tempat asalmu. Dan pamanmu, Arest.. apa kalian tidak bisa
membicarakannya dengan baik?” ucapku, tapi benar… aku tidak akan baik-baik saja
jika kau pergi.
“Entahlah…”
katanya.
“Bell
Amon akan membereskannya, begitu katanya. Dan setelah itu, dia akan datang
memanggilku dengan ultra rasi bintang. Pada saat itulah aku akan kembali. Tapi
tetap saja, aku sudah terpisah dengan bunda” lanjutnya.
Aku
tidak akan mengerti jika dia tidak memberitahuku lebih jelas lagi, siapa Bell
Amon dan apa ultra rasi bintang itu?. Bukannya aku tidak ingin tahu, tetapi aku
hanya tidak mau banyak bertanya lagi. Dia sudah bercerita banyak hal, dan aku
sudah sepantasnya mendengar. Kadang aku berfikir, saat dia terbuka padaku… aku
sama saja menguak masa lalu kelamnya yang menyedihkan. Tapi kenapa dia selalu
menceritakan hal-hal seperti itu padaku. Aku hanya manusia, aku tidak berada
didunia lain… atau didunia yang ada pahlawan heroik yang sering dikisahkan
dalam cerita fantasy dan semacamnya.
Selang
beberapa bulan berlalu.. suatu tengah malam, aku melihat ia kembali memandang
bulan dihalaman belakang rumahku. Aku melihat malam itu, banyak sekali bintang
berkerlap-kerlip disekitar bulan yang besar. Aneh sekali, baru pertama kali ini
aku melihat bintang melingkar disisi bulan. Mereka masing-masing membentuk
sesuatu yang aneh, atau aku memang salah lihat. Sesuatu berpijar diatasnya.
Pelangi. Bukankah ini malam hari, lalu mengapa ada pelangi? Aku tidak mengerti,
tetapi saat itu… aku melihat Fate kecewa, tapi dia tersenyum. Senyumnya berada
diantara kekecewaan dan kesedihan. Aku duduk disebelahnya.
“Apakah
itu, ultra rasi bintang?” tanyaku pada akhirnya, ketika menyadari bahwa sesuatu
akan pergi dan sebentar lagi akan kehilangan.
“Kau
akan kembali ke tempat asalmu” kataku dengan tawa yang tertahan. Fate
mengangguk.
Bulan
membelah diri, warna emas terlihat ditengahnya dan Fate berdiri… angin
berhembus sangat cepat. Malam itu dingin, sangat dingin. Pada saat itu, aku
merasa diriku berbantal malam dan berselimut kedinginan. Aku mencoba meraih
cahaya temaram pada tiang lampu taman belakang, semakin aku mendekat… ia
semakin menjauh. Semakin aku ingin meraihnya malah ia semakin tak terlihat,
hitam… pekat. Lampu temaram itu mati.
Kemudian
aku sadari, bahwa malam itu aku harus merelakan. Fate ditelan bulan terbelah,
dia sudah kembali ketempat asalnya dan aku tersungkur jatuh, menangis
sekeras-kerasnya menemani malam yang sebentar lagi mendatangkan fajar. Angin
beramai-ramain datang menertawakan, dingin menyatukan dirinya denganku dan
malam semakin menipis. Kau tahu, aku tidak akan baik-baik saja Fate. Aku
benar-benar tidak baik Fate.
Sekencang-pun
aku menangis, meskipun mengalahkan derasnya air hujan dan suara petir
menyambar, tetap saja itu tidak akan pernah membuatmu kembali lagi. Kau akan
selamanya disana. Didunia yang berbeda denganku, bodohnya… dari dulu aku tidak
mau mempercayai hal itu.
Dan
semenjak malam itu, malam-malam selanjutnya… disinilah aku. Melihat bulan yang
besar dan memercikan ribuan cahayanya. Mengingat masa-masa saat kita bersama
dan ketika ultra rasi bintang itu memisahkan kita. Aku menunggumu… Apa kau
baik-baik saja disana? Ingat, aku tidak pernah melupakan wajahmu, meskipun
bertahun-tahun berlalu… aku masih setia dibawah rembulan. Menunggumu… Apakah
demikian denganmu?.
End
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon