Aku
berdiri diatas rerumputan yang menjulang menyentuh pinggangku. Kulihat langit
berwarna kuning keemasan di permadani lebar itu. Mulai menutup mata dan
kurasakan semilir angin lewat hingga
terasa menusuk kulitku. Aku dapat mengingat, bagaimana semuanya terjadi. Begitu
cepat, bahagia dan menyiksa. Semuanya seolah berpendar dalam ingatanku. Samar
dan aku mencoba untuk menguaknya, mengolahnya lalu menyimpannya kembali
dimemori otakku
Hujan
di terminal busway waktu itu, ketika kami berdua berjalan menyusuri trotoar
dipinggir jalan yang basah. Aku membawa payung berwarna ungu, dengan gambar
gadis kecil menggunakan high hells tinggi. Tangan kanannya menyentuh pundakku
pelan, sementara tangan kirinya memegang kaki payung. Dia tersenyum dan akupun
tersenyum. “Avast, aku bahagia” aku
berujar, kulihat dia menarik sedikit kedepan bibirnya lalu terkekeh dan
aku memukul pelan perutnya. Dia meringis, lalu kami tertawa bersamaan. Jalanan
terlihat ramai, beberapa orang berkelarian menghindari hujan namun kami tidak,
karena kami menikmati saat-saat itu. “Aku juga bahagia, Lianne. Bersamamu, dan
semua hal yang kualami denganmu. Itu membuatku sangat bahagia. Kau merubah
semuanya. Terimakasih” dia berucap terdengar tulus, kami melewati lorong-lorong
dan beberapa orang berdiri untuk berteduh.
Kami
terus berjalan. Kujulurkan tangan, dan kurasakan rintikan kecil membasahi
pangkal tanganku. Ketika kulihat, hujan semakin mereda. Sudah tidak besar
seperti sebelumnya, tinggal menunggu sebentar lagi seolah mengetahuinya dan
kulihat tidak ada tetesan air lagi yang jatuh. Ketika kutengadahkan kepala
keatas, kulihat langit tidak muram seperti sebelumnya dan hari kembali cerah.
Wajah miliknya tersenyum, manis sangat manis, tenang seperti malaikat yang baru
menginjakkan kaki diatas bumi. Dia mengusap kepalaku pelan “Cerah seperti
biasa” dia berujar dan aku tersenyum nakal lalu menjauh beberapa langkah
darinya. Berputar dan menari, seolah berada dipadang bunga menikmati matahari
sore dan hembusan angin yang lembut. Membiarkan rambutku tergerai dan tertiup
angin.
Tapi
tidak, karena hujan baru saja mereda. Kulihat dia menjulurkan tangan kanannya,
kurasa dia mencoba untuk merasakan apakah hujan masih terjatuh? Dengan wajah
tenangnya, dia menekan penyunggil payung lalu melipatnya. “Lianne,
berhati-hatilah. Jalanan masih licin” dia memperingatkan, begitu perhatiannya
dia. Membuatku semakin menyukainya. “Aku akan berhati-hati” aku membalas dan
berlari melakukan beberapa putaran sambil tertawa bahagia.
Kami
tiba didepan perumahan, terlihat sepi dan berdiri diatas anakan tangga pertama.
“Aku sudah memutuskan-” ucapnya ketika kami akan melewati anakan tangga
selanjutnya. “Aku akan pindah dan tinggal bersamamu”.
Aku
tidak tahu, namun aku ingin menangis. Serasa benda bening sudah berada diujung
mataku, dan pada saatnya pula aku membiarkannya mengalir deras. Aku bahagia,
benar-benar bahagia. Saat itu. Dia melihatku, dan memegang kedua bahuku dengan
kedua tangannya, lalu memutar tubuhku. “Ada apa? Kenapa kau menangis?”. “Tidak
apa-apa. Aku hanya- merasa bahagia” tuturku, dia tersenyum dan memelukku.“Kau
tidak perlu menangis seperti itu. Aku senang tinggal bersamamu. Kita akan
memulai hidup ini. Berdua”. “Aku tidak akan mengecewakanmu. Karena kau
satu-satunya hidupku” dia semakin mempererat pelukannya bahkan sangat erat,
hingga aku tak ingin lepas darinya.
Saat
itu, aku benar-benar berada didalam jurang kebahagiaan. Membawaku kemudian
menghadiahkan hal-hal yang istimewa. Sesuatu yang indah, membuatku melayang dan
menjadi orang terbahagia didunia. Seakan benar-benar menari dengan sekumpulan
peri lalu menikmati matahari terbenam dan merasakan kehidupan terindah yang
benar-benar hidup didunia ini. Saat itu, aku tidak pernah memikirkan yang lain,
memikirkan hal-hal buruk atau sesuatu yang bisa menimpaku. Aku benar-benar
tidak memikirkannya. Fikiranku penuh dengan kata-kata persajakan, bait-bait
puisi dan nyanyian cinta remaja. Aku tidak bisa memikirkan lagi, bahwa ada hal
yang masih terlihat samar diujung paling depan menanti. Semuanya tergelut dalam
hal yang sampai sekarang menyeretku sangat jauh dari dunia. Merasakan kehampaan
dan kesengsaraan didunia. Saat ini, sekarang sampai detik ini.
Aku
mengangkat ponsel yang sedari tadi berbunyi diatas meja dekat tempat tidurku,
nomor yang masuk kelayar sama sekali tidak kukenal. “Halo-” kudengar suara
wanita dari seberang, dan aku membalasnya dengan ucapan hallo pula. “Maaf, apa
anda Lianne Rotway?” dia berujar pelan ketika menyebutkan namaku, dan “Ya- anda
menghubungi orang yang benar. Ada apa?”. “Oh- apakah anda mengenal tuan Avast
Montana?” dia berujar cepat. “Iya, dia. Um- maksudku, kami memiliki hubungan
dan um- anda mengerti seperti kekasih atau um- yang seperti anda fikirkan.
Begitulah” ujarku, terdengar kaku sembari memiringkan bibir. Membiarkan orang
luar tahu hubungan kami? Oh tuhan...
“Yah,
tuan Avast. Maaf, kekasih anda- mungkin ini akan terdengar menyakitkan tapi
dengarlah baik-baik. Dia tengah sekarat dirumah sakit. Polisi menemukan
tubuhnya dihimpit oleh mobil dibangunan dekat golden gate. Kesempatan untuk
hidup sangat minim, kami khawatir tidak bisa menyelamatkannya. Um-Bisakah anda
datang kerumah sakit secepatnya?” mendengar itu, itu dan kejadian itu membuat
tubuhku melemas. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku dan terjatuh dilantai. Dan
pada saat itu pula, kurasakan mataku memanas. Bukan kebahagiaan tapi menyusul
kepedihan dan penderitaan. Dia akan mati, tidak itu semua tidak benar. Samar
kudengar suara wanita itu masih memanggil dari seberang. “Hallo, apa anda
mendengar saya? Tolong jawablah” dengan susah payah aku mengambil ponsel yang
sudah jatuh dan berada beberapa jengkal dari kakiku. “Maaf, bisakah anda
memberitahu dimana tempatnya?” ucapku terbata, mataku semakin panas dan mulai
dipenuhi aliran benda bening sangat banyak aku tidak bisa menghentikannya. “Di
rumah sakit St. Raimond. Terima kasih” aku menutup telepon.
Aku
langsung menyambar tas slempangku dan berlari kearah pintu dan menutupnya
hingga menimbulkan suara keras. Aku tidak memikirkan apa-apa lagi, aku tidak
memikirkan apa aku mengunci pintu? Aku tidak memikirkan pekerjaan rumah yang
belum selesai. Aku tidak memikirkan, apa aku mematikan gas atau kran air yang
sedang menyala. Tidak lagi. Itu sudah tidak berada lagi didalam bayangan
otakku. Yang kufikirkan saat ini adalah dia, dia yang terhimpit mobil, dia yang
sedang dililit oleh selang-selang infuse, dia yang sedang berbaring kesakitan
dan dia yang sedang berada diambang antara hidup dan mati. Aku menghentikan
taxi, sambil berurai air mata, kepalaku terasa pusing bersamaan dengan
berjalannya taxi yang membawaku ke St Raimond.
Aku
berdiri didekatnya yang terbaring. Wajah yang selalu tenang dan lilitan
selang-selang infuse serta waktu yang berpacu dimonitor menentukan hidup dan
mati berjalan sangat pelan. Aku mengerti, dia bernafas namun pelan. Aku
melihatnya, dia menggunakan oksigen. Kusentuh dan kuelus tangannya, aku
menangis deraian air mata itu tak bisa kuhentikan. Tolong, siapa saja. Hentikan
air mata ini, aku memohon. Aku berdoa, lama aku melihat aku terkejut ketika
darah keluar dari mulutnya dan memenuhi ruang oksigen lewatnya bernafas. Segera
aku berlari keluar dan memanggil suster dan dokter yang langsung memeriksa keadaannya.
Dan saat itu pula, aku tidak bisa mengelak pada takdir. Sudah diputuskan dan
kehendak tuhan. ‘Dia pergi, benar-benar
pergi. Aku sendiri, aku kehilangan dan aku kesepian’
Kurasakan
angin lembut menerpa wajahku, menerbangkan rambutku yang tergerai. Rok
selututku beterbangan akibat sentuhan angin dan aku membuka mata. Saat itu,
kulihat langit sudah sangat berwarna jingga dan aku tersenyum. Kulihat burung
dara terbang dilangit jingga itu, sangat cantik dan aku melambai sambil
memejamkan mata. Seolah aku melihatnya dan dia juga melihatku di langit jingga
itu. Kupastikan, ini akan menjadi ketenangan yang indah didalam hidupku, semua
tentangmu. Aku berjanji, tentang kita dihujan pada waktu itu. Aku tidak melihat
lagi langit gelap dan yang kurasakan adalah pelangi yang pernah kita lihat
diatas bukit.
End
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon